Sertifikasi Guru dan Peningkatan Kompetensi Guru

Pembaharuan pendidikan mulai terasa sejak diterbitkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berlanjut ditetapkannya UU Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, maka Guru dan Dosen dapat bernafas leluasa setelah  PP No 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi di tanda tangani presiden, 8 Juni 2009.

Bukan lagi diharapkan, peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru dan dosen adalah keniscayaan yang tidak dapat di tawar. Bahkan, dalam memperoleh sertifikat pendidik itu, harus melalui proses yang luar biasa, yakni melalui jalur portofolio, dan jika tidak memenuhi point minimal portofolio, harus mengikuti PLPG, itupun harus bisa lulus.  Jalur kedua adalah,  Pendidikan Profesi Guru (PPG). Proses yang sedemikian rupa, cukup membikin perubahan warna terhadap pola pikir dan paradigma guru mengenai pedagogik, serta teknis pembelajaran secara umum. 

Namun, persoalannya kemudian adalah, banyak dari guru yang berkomitmen untuk meningkatkan kinerja, diantaranya ; membuat perencanaan pembelajaran yang matang, menyiapkan alat peraga/ media pembelajaran, proses pembelajaran yang berbobot dan menyenangkan, serta evaluasi pembelajaran yang tepat guna. Dimana peningkatan kinerja dimaksud, mempunyai konsekuensi logis memakan waktu guru yang tidak sedikit. semula, sehabis mengajar, langsung tarik pedal, jalankan becak ratusan kilometer, hanya sekedar mencari nafkah. semula, seusai mengajar, langsung ke pasar, jualan sayur, dan lain seterusnya yang bisa dijual (hasil bumi), hanya sekedar mengumpulkan pundi-pundi rizqi untuk kesejahteraan keluarga. Namun, waktu yang biasa itu, harus dikurangi, untuk menunaikan tugas mulia seorang guru. Implikasi riilnya adalah, sangat diharapkan, yang disebut dengan Tunjangan Profesi. Akan tetapi, Tunjangan Profesi dimaksud, 5-7 bulan baru cair sekali, dengan sistem rapel. Pertanyaannya, apakah peningkatan kompetensi guru boleh dirapel?, padahal untuk penyediaan alat peraga dan media pembelajaran dibutuhkan pada setiap tatap muka.

Al akhir, Persoalan pendidikan babak baru dimungkinkan muncul, yakni ketergantungan guru-guru terhadap tunjangan-tunjangan, dimana masa rekayasa ini, cukup membikin, mayoritas pemuda dan masyarakat, mencita-citakan menjadi guru. Penyaluran tunjangan-tunjangan dijadikan proyek pribadi. Pendirian sekolah semakin massif, perekrutan guru menjadi asal-asalan. Banyak PT yang menggelar prodi pendidikan, dengan obsesi hanya menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya, dipungut iuran yang tinggi, dan out put-nya biasa saja. Wallahu A'lam...

oh Indonesiaku..... persoalan kerakyatan saja belum kog belum juga selesai-selesai, kapan jadinya, persoalan kebangsaan terpecahkan. wong mental aparaturnya begitu ....!

0 komentar: